Seperti hari, ia berlalu, pergi begitu cepat.
Seperti waktu; ah sama saja.
Sebenarnya, sukar bagiku untuk melupa, karena ini perkara hati dan pikiran. Tidak mudah bagiku untuk merobek sisa-sisa representasi kenangan di dalam ruang itu. Tidak cukup mudah.
Terkadang, hatiku benar-benar berat untuk berhenti melakukan apa yang dahulunya sering kita lakukan. Memandang mentari senja, mengukir nama di batang pohon, memetik bunga-bunga, atau bahkan menari di bawah rintik air hujan.
Masih sering aku melakukannya, walaupun pada saat ini kebanyakan kulakukan dalam sendiri. Dengan harapan, ada bayanganmu di sana. Namun, detik terus berganti, hingga kusadari air mataku kembali mengalir.
Kau, aku sudah bilang. Mengapa harus datang, jika pada akhirnya aku harus merasakan sesuatu yang namanya melupa. Yang bahkan sulit untuk dilakukan oleh orang sepertiku yang mudah terikat dengan sesuatu abstrak bernama kenangan.
Ah, kenangan itu benar adanya. Yang salah itu, aku yang selalu teringat. Lantas aku harus bagaimana?
(Bersambung—3)