boleh aku menulis surat untukmu? jika berkenan, aku akan menuliskannya tepat di penghujung hari, saat petang dan lekat ada dalam satu genangan, dan saat malam mengiring mimpi yang mengangkasa. jika iya, atau kau mengizinkannya; aku akan menuliskannya sekarang.
…
kotaku, awal September ditahun duapuluh.
akhir pekan malam
dingin semakin merasuk
hujan yang raib menjejakan bekas sebagai angin beku
kepada lelaki yang senantiasa menyimpan kenang di saku celananya, boleh aku menerka ulang kejadian apa yang tak sempat kau lirik?
aku ingin mengisahkan perjalanan kita, dan warna warna yang sulit direka. perihal pertemuan yang sempat menderaikan tawa, atau perpisahan yang jelas menjadi duka.
kunamai engkau : senja
mungkin saat ini, aku tidak hanya kehilanganmu. namun, lebih dari itu aku kehilangan waktu yang bergerak. waktu yang benar benar ikut beranjak, membawa namamu, meninggalkan mimpi yang (sempat) aku usahakan.
perihal kita dan hari lalu
di titik butamu :
sajak telah menyaru pada dinding asmara. kemarin adalah ingatan, dan kesepian adalah gempita luka paling syahdu.
dan akhirnya, kita menyepakati pergi.
sejak saat itu, aku jadi nestapa. padahal katamu; merpati tak lupa rumah.
jika begitu, perjalanan apa yang dapat kunamai setelah ini?
sebuah jeda?
sebuah perjalanan kehidupan menemukan cinta yang baru?
ketahuilah, pada saat aku menulis surat ini nuragaku dilanda gagu. kuharap setelah ini aku dapat melupakan kisah yang lalu dan peristiwa yang runyam.
semoga.
untukmu, senja.